1. Apa itu COVID-19?
COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan. Virus ini merupakan virus baru dan penyakit yang sebelumnya tidak dikenal sebelum terjadi wabah di Wuhan, Tiongkok, bulan Desember 2019.
2. Apakah orang yang hidup dengan HIV berisiko lebih tinggi terinfeksi virus yang menyebabkan COVID-19?
Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus melalui pengobatan antiretroviral rentan untuk mendapatkan infeksi opportunistik dan perjalanan penyakit akan cepat mengalami perburukan. Hal ini disebabkan karena sistem imun yang belum pulih. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko infeksi terhadap COVID-19 dan peningkatan perburukan penyakit untuk ODHA. Saat ini tidak ada kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di antara ODHA, meskipun hal ini dapat dengan cepat berubah ketika virus menyebar. Dilaporkan bahwa selama wabah SARS dan MERS hanya ada beberapa laporan kasus penyakit ringan terkait SARS dan MERS di antara ODHA.
Data klinis saat ini menunjukkan faktor risiko kematian karena COVID-19 terutama terkait dengan usia lanjut dan komorbiditas lainnya termasuk penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit saluran pernapasan kronis, dan hipertensi. Beberapa orang yang sangat sehat juga menderita penyakit parah akibat infeksi coronavirus.
ODHA yang mengetahui status HIV mereka disarankan untuk mengambil tindakan pencegahan yang sama seperti populasi umum (misalnya sering mencuci tangan sering, etika batuk, hindari menyentuh wajah Anda, menjaga jarak, mencari perawatan medis jika bergejala, isolasi diri jika kontak dengan seseorang dengan COVID -19 dan tindakan lain sesuai rekomendasi pemerintah). ODHA yang menggunakan obat-obatan ARV harus memastikan bahwa mereka memiliki paling sedikit 30 hari stok ARV jika suplai 3 sampai 6 bulan tidak tersedia dan memastikan bahwa status vaksinasi mereka diperbaharui (vaksin influenza dan pneumokokus).
Penting untuk dipastikan agar ODHA yang belum memulai pengobatan ARV dapat segera memulai pengobatan ARV. Bagi orang yang merasa beresiko disarankan untuk segera memeriksakan diri agar perkembangan penyakit terkait HIV dapat dikendalikan dan mengurangi komplikasi dari penyakit lainnya.
Panduan WHO tentang wabah COVID-19: WHO Guidance on the COVID-19 outbreak
WHO tingkat negara dan panduan teknis: WHO country and technical guidance
3. Apakah ARV dapat digunakan untuk mengobati COVID-19?
Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19, dan infeksi koronavirus terkait (SARS-CoV dan MERS-CoV) memiliki hasil klinis yang baik, dengan hampir semua kasus pulih sepenuhnya. Dalam beberapa kasus, pasien diberi obat antiretroviral: lopinavir yang dikuatkan dengan ritonavir (LPV/r). Penelitian ini sebagian besar dilakukan pada orang dengan status HIV-negatif.
Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini menggunakan LPV/r memiliki keterbatasan. Penelitiannya kecil, waktu, durasi dan dosis untuk pengobatan bervariasi dan sebagian besar pasien menerima intervensi atau pengobatan yang mungkin berkontribusi pada hasil pengobatan yang dilaporkan.
Sementara bukti manfaat penggunaan ARV untuk mengobati infeksi coronavirus masih belum jelas, dilaporkan kejadian timbulnya efek samping yang serius jarang terjadi. Di antara ODHA, penggunaan rutin LPV/r sebagai pengobatan untuk HIV mempunyai toksisitas sedang. Efek samping LPV/r pada kasus coronavirus dilaporkan rendah, hal ini disebabkan karena pemberian LPV/r diberikan dalam jangka waktu pendek.
4. Apakah ARV dapat digunakan untuk mencegah infeksi virus penyebab COVID-19?
Dua penelitian telah melaporkan penggunaan LPV/r sebagai profilaksis pasca pajanan untuk SARS-CoV dan MERS-CoV. Salah satu penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya infeksi MERS-CoV lebih rendah di antara petugas kesehatan yang menerima LPV/r dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima obat apa pun; penelitian lain tidak menemukan kasus infeksi SARS-CoV di antara 19 ODHA yang dirawat di bangsal yang sama dengan pasien SARS, yang mana 11 di antaranya memakai terapi antiretroviral. Sekali lagi, kekuatan bukti yang ada sangat rendah karena ukuran sampel yang kecil, variabilitas dalam obat yang diberikan, dan ketidakpastian mengenai intensitas paparan.
5. Studi apa terkait pengobatan dan pencegahan COVID-19 dengan ARV yang sedang direncanakan?
Beberapa uji coba random direncanakan untuk menilai keamanan dan kemanjuran penggunaan obat antiretroviral – terutama LPV/r – untuk mengobati COVID-19, dengan kombinasi obat lain. Hasil diharapkan pada pertengahan 2020 dan seterusnya.
6. Apa posisi WHO dalam uji klinis/penelitian saat wabah sedang berlangsung?
WHO memberikan dukungan dan arahan kepada komunitas ilmiah dan menyambut baik penelitian dan pengembangan tes yang efektif, vaksin, obat-obatan dan intervensi lain untuk COVID-19.
Untuk keadaan darurat kesehatan masyarakat, WHO memiliki proses yang sistematis dan transparan untuk penelitian dan pengembangan, termasuk untuk uji klinis obat dan vaksin baru. “WHO R&D Blueprint” WHO untuk COVID-19, yang dimulai pada 7 Januari 2020, akan berfungsi sebagai strategi global untuk kegiatan Litbang. Tujuannya adalah untuk melacak dengan cepat ketersediaan tes yang efektif, vaksin dan obat-obatan yang dapat digunakan untuk menyelamatkan jiwa dan mencegah krisis skala besar.[1] Sebagai bagian dari ini, WHO memimpin penentuan prioritas global kandidat vaksin dan pengobatan untuk pengembangan dan evaluasi. Untuk mendukung pengujian, WHO mengundang kelompok penasihat ilmiah (Scientific Advisory Group/SAG) untuk mengembangkan panduan tentang desain uji coba baik untuk vaksin eksperimental dan pengobatan. [2] [3]
WHO secara aktif mengikuti uji klinis yang sedang berlangsung untuk antivirus yang ada dan obat-obatan lain yang sedang dilakukan untuk COVID-19. WHO terus menekankan bahwa semua uji klinis seharusnya dan harus mengikuti standar etika dan peraturan yang ketat. Otoritas regulasi memiliki peranan yang penting untuk memastikan pengawasan yang ketat terhadap semua uji klinis yang akan dilakukan.
7. Apa posisi WHO tentang penggunaan bukti dari hasil penelitian awal atau terapi yang tidak terbukti untuk intervensi?
Banyak kuman patogen yang saat ini terbukti tidak mempunyai intervensi yang efektif. Beberapa intervensi di laboratorium dan uji hewan menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk beberapa kuman patogen, uji klinis diperlukan untuk menghasilkan bukti yang dapat diandalkan agar dapat digunakan pada manusia sebelum rekomendasi resmi dapat dibuat.
WHO telah mengembangkan prosedur evaluasi dan pendaftaran (Emergency Use Assessment and Listing/EUAL) untuk calon obat ataupun produk kesehatan lainnya agar dapat digunakan dalam kedaruratan kesehatan masyarakat. Prosedur ini dibuat untuk memberikan panduan kepada otoritas regulasi nasional.
Prosedur ini dapat digunakan untuk mempercepat ketersediaan obat-obatan dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat. Pada kondisi ini masyarakat mungkin bersedia untuk menerima kekurangan terkait efektifitas dan keamanan produk mempertimbangkan morbiditas dan mortalitas penyakit serta kekurangan pengobatan dan/atau pilihan pencegahan. [4]
Dalam konteks wabah yang ditandai dengan angka kematian yang tinggi, secara etis mungkin tepat untuk menawarkan intervensi eksperimental pada setiap pasien secara darurat di luar kaidah uji klinis, dengan ketentuan bahwa: [6]
- Tidak ada pengobatan yang terbukti efektif;
- Tidak mungkin untuk segera memulai studi klinis;
- Data tersedia memberikan dukungan awal untuk kemanjuran dan keamanan intervensi, setidaknya dari studi laboratorium atau hewan, dan penggunaan intervensi di luar uji klinis telah disarankan oleh komite penasihat ilmiah yang memenuhi syarat sesuai berdasarkan analisis risiko-manfaat yang menguntungkan;
- Otoritas nasional yang relevan, serta komite etik yang memenuhi syarat, telah menyetujui penggunaan tersebut;
- Sumber daya yang memadai tersedia untuk memastikan bahwa risiko dapat diminimalkan;
- Pasien telah memberikan persetujuan; dan
- Penggunaan darurat intervensi dipantau, dan hasilnya didokumentasikan dan dibagikan secara tepat waktu dengan komunitas medis dan ilmiah yang lebih luas.
Penggunaan intervensi eksperimental dalam keadaan ini disebut sebagai “Penggunaan darurat intervensi eksperimental dan tidak teregistrasi yang terpantau” (MEURI) [7].
8. Bagaimana posisi WHO tentang penggunaan ARV untuk pengobatan COVID-19?
Saat ini, tidak ada data yang cukup untuk menilai efektivitas LPV/r atau antivirus lain untuk mengobati COVID-19. Beberapa negara sedang mengevaluasi penggunaan LPV/r dan antivirus lain dan kami menyambut baik hasil investigasi ini.
Sekali lagi, sebagai bagian dari respons WHO terhadap wabah, WHO R&D Blueprint [8] telah diaktifkan untuk mempercepat evaluasi diagnostik, vaksin, dan terapi untuk coronavirus baru ini. WHO juga telah merancang serangkaian prosedur untuk menilai kinerja, kualitas, dan keamanan teknologi medis selama situasi darurat.
9. Bagaimana posisi WHO dalam penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan COVID-19?
Pedoman sementara saat ini dari WHO tentang penatalaksanaan klinis infeksi saluran pernapasan akut berat ketika diduga infeksi COVID-19 adalah menyarankan untuk tidak menggunakan kortikosteroid kecuali memiliki indikasi medis lain yang kuat. [9]
Panduan ini didasarkan pada beberapa tinjauan sistematis yang menyebutkan kurangnya efektivitas dan kemungkinan bahaya dari perawatan rutin dengan kortikosteroid untuk pneumonia virus atau sindrom gangguan pernapasan akut.
10. Jika negara menggunakan ARV untuk COVID-19, apakah ada kekhawatiran tentang kekurangan pengobatan untuk orang yang hidup dengan HIV?
Antiretroviral adalah pengobatan yang manjur dan dengan tingkat toleransi tinggi untuk ODHA. Antiretroviral LPV/r saat ini sedang diteliti sebagai pengobatan yang mungkin untuk COVID-19.
Jika LPV/r akan digunakan untuk pengobatan COVID-19, harus ada rencana untuk memastikan manajemen rantai pasok memadai dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan semua ODHA yang sudah menggunakan LPV/r dan mereka yang perlu memulai pengobatan. Proporsi penggunaan LPV/r baik sebagai terapi substitusi ataupun lini kedua relative kecil dalam pengobatan ARV secara umum. Setiap negara yang mengizinkan penggunaan obat-obatan HIV untuk pengobatan COVID-19 harus memastikan ketersediaan pasokan yang memadai dan berkelanjutan.
10. Hak asasi manusia, stigma dan diskriminasi
Ketika dunia meningkatkan respons kesehatan masyarakat terhadap pandemi COVID19, negara-negara didesak untuk mengambil tindakan tegas untuk mengendalikan epidemi. Organisasi Kesehatan Dunia telah mendesak semua negara untuk memastikan keseimbangan yang tepat antara melindungi kesehatan, mencegah gangguan ekonomi dan sosial, dan menghormati hak asasi manusia.
WHO bekerja dengan mitra termasuk the UNAIDS Joint Programme dan Jaringan Global Orang yang Hidup dengan HIV untuk memastikan bahwa hak asasi manusia tidak terkikis dalam respons terhadap COVID-19 dan untuk memastikan bahwa orang yang terdampak HIV ditawarkan akses yang sama untuk layanan seperti orang lain dan untuk memastikan layanan terkait HIV berlanjut tanpa gangguan.
11. Pemberian resep lebih dari 1 bulan
Simplifikasi rejimen ARV, pemberian obat ARV lebih dari 1 bulan (3-6 bulan) untuk pasien dewasa, anak-anak, remaja dan ibu hamil serta ibu menyusui yang stabil termasuk populasi kunci kunci (pengguna napza jarum suntik/penasun), pekerja seks, lelaki seks lelaki (LSL), waria dan penghuni rutan/lapas dan mereka yang tinggal di lingkungan tertutup) memberikan manfaat untuk keberlangsungan logistik dan akan mengurangi frekwensi kunjungan dan akan mengurangi kemungkinan terpapar atau memberikan paparan coronavirus selama wabah berlangsung.
Artikel asli: Pertanyaan dan jawaban terkait COVID-19, HIV dan antiretroviral di Indonesia. Diakses pada tanggal: 15 Juni 2020.